Thursday, July 29, 2021

Pandemi Melanda Dunia, tapi Mengapa COVID-19 Kini Lebih Mematikan di Indonesia?

Liputan6.com, Jakarta - Kita tidak sedang baik-baik saja, Kawan. COVID-19 terus jadi ancaman. Indonesia, negara yang kita cintai sepenuh hati, kini dijuluki sebagai episentrum baru COVID-19, setidaknya di Asia. Predikat itu pastinya tidak menyenangkan. Tapi, data yang bicara. Angka penambahan kasus harian di sini lebih banyak dari negara-negara lain, bahkan melampaui India yang beberapa bulan lalu kita amati dengan ngeri dari jauh. Berdasarkan data Worldometer pada Minggu 25 Juli 2021, Indonesia ada di posisi kedua setelah Amerika Serikat, dengan angka penambahan kasus sebanyak 295.071 dalam tujuh hari terakhir. Jika itu masih dianggap biasa-biasa saja, ada data lain yang menunjukkan, penambahan angka kematian akibat COVID-19. Di situ, Indonesia jadi 'juara dunia', di atas Rusia, jauh melampaui Meksiko, Iran, Bangladesh, India dan Thailand. Apa yang membuat kasus COVID-19 melonjak dan angka kematian tinggi di Indonesia? Menurut Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, kematian sejatinya adalah indikator keseriusan situasi pandemi di suatu negara atau wilayah. Bahkan, kata Dicky, hilangnya satu nyawa saja merupakan indikator kegagalan pengendalian pandemi atau wabah. "Kematian kita sangat tinggi, karena apa? Karena gagal dalam menemukan kasus-kasus infeksi ini sejak awal, secara dini, secara cepat di masyarakat. Termasuk kaitannya dengan kapasitas testing dan tracing kita," kata peneliti di Global Health Security Policy di Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia itu kepada Liputan6.com. Atau dengan kata lain, kematian adalah 'indikator telat'. Padahal, ia menambahkan, pandemi bukan baru saja terjadi. Sudah 16 bulan! Indikator lain adalah test positivity rate, yang dihitung dengan membandingkan jumlah orang yang positif dengan jumlah orang yang diperiksa. Dicky mengungkapkan, test positivity rate Indonesia sejak pandemi itu selalu di atas 10 persen. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir sudah di atas 20 persen. "Dan itu sangat berbahaya, karena mengindikasikan bahwa kita gagal dan tidak bisa menemukan sebagian besar kasus infeksi. Dan itu berkontribusi pada angka kematian yang tinggi," tambah dia. Berdasarkan angka, kasus kematian akibat COVID-19 di Indonesia di atas 1.000. Namun, data tak selalu menunjukkan fakta. Bisa jadi lebih besar dari itu. Pada 25 Juli 2021, John Hopkins Coronavirus Resource Centre menyebut, case-fatality ratio COVID-19 atau rasio fatalitas per 100 kasus terkonfirmasi, Indonesia ada di angka 2,7 persen, di urutan ketujuh. Sementara, untuk kematian per 100.000 populasi (baik yang sehat maupun sakit), Indonesia ada di urutan ke 14 dengan angka 30,30. Dicky menambahkan, membandingkan data kematian antar negara tidak bisa apple to apple. Apalagi sistem laporan kita tidak bisa dibandingkan dengan negara lain, misalnya Inggris atau Australia. Menurutnya, setiap kematian akibat COVID-19 seharusnya jadi pembelajaran penting buat Indonesia. "Di negara-negara tetangga kita seperti Singapura dan Vietnam, itu menjadi studi kasus, pembelajaran. Kenapa dia sampai meninggal? Apa yang menyebabkan, apakah testing dan tracing yang lambat dan tidak terdeteksi atau komorbid?" kata pria kelahiran Jawa Barat itu. Dicky menambahkan, sebenarnya pasien COVID-19 dengan komorbid bisa diselamatkan, asal kapasitas testing dan tracing Indonesia memadai, sehingga tidak sampai meninggal, karena cepat ditemukan untuk mendapatkan perawatan. "Jadi komorbid-komorbid ini sebetulnya tidak masalah kalau misalnya dia ada komorbid, terinfeksi (COVID-19) juga. Enggak akan harus menyebabkan dia meninggal. Tapi, syaratnya ya cepat ditemukan," kata dia. Jangan langsung mengaitkan kematian akibat COVID-19 dengan komorbid. Tidak selalu begitu. "Nah, ini yang terjadi adalah kombinasi dia punya komorbid dan terlambat ditemukan juga karena kapasitas 3T kita yang rendah dan lemah, sehingga ini yang memperparah situasinya," tambahnya. Sementara itu, dokter Kamil Muhammad, inisiator Pandemic Talks, sebuah platform informasi dan data tentang COVID-19 Indonesia, menilai, pendataan di Indonesia belum sesuai dengan kenyataan. Banyak biasnya. "Indonesia melaporkannya tidak sesuai dengan standarisasi yang direkomendasikan, misalnya dari WHO. Standarisasi definisi misalnya, laporan kematian itu kan sampai sekarang belum diganti, yakni kematian yang terkonfirmasi plus suspect. Indonesia kan tidak pernah melaporkan suspect. Itu yang bikin bias," jelas Kamil ketika dihubungi Liputan6.com. Itu mengapa, dia menambahkan, margin of error-nya lebar. Sementara di Amerika Serikat dan Inggris, suspect dimasukkan laporan kematian. Jawaban versi pemerintah disampaikan Koordinator PPKM Darurat, Luhut Binsar Pandjaitan. Ia mengungkapkan, dari hasil penelitian tim di lapangan, angka kematian akibat COVID-19 meningkat karena beberapa faktor. Yakni, kapasitas RS yang sudah penuh, pasien yang ketika datang saturasinya sudah buruk, serta meninggal karena tidak terpantau ketika melakukan isolasi mandiri di rumah. "Rata-rata pasien yang meninggal menderita komorbid atau belum menerima vaksin," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu pada Minggu 25 Juli 2021. Dan, ada lagi fakta yang tak bisa dielak. Di tengah pandemi COVID-19, tak semua orang yang kena penyakit itu bisa dirawat di rumah sakit. Banyak yang terpaksa atau memilih isolasi mandiri atau isoman. Saat sakit makin parah, tak sedikit yang meninggal di rumah.
Share:

Labels

Recent Posts

Unordered List

Pages

Sample Text

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.